Ketidakpastian Pandemi: Dukungan Psikososial Vs Teori Konspirasi

Saat ini kita mulai merasakan masa pandemi Covid-19 cukup panjang. Tadinya banyak orang berharap ini hanya sebentar dan sekarang kita semua terjebak pada dua hal; pertama, ketidakpastian dan itu pasti tidak menyenangkan. Kedua, selain ketidakpastian adalah kesepian.

Walaupun kesepian juga bisa terjadi saat ada banyak orang dan banyak aktivitas tapi sekarang dua hal ini menjadi adalah problem terbesar kesehatan jiwa masyarakat saat ini.

Dari apa yang saya baca, sebenarnya pandemi adalah salah satu bencana yang bersifat natural atau alami, selain bencana alam seperti banjir, tanah longsor atau tsunami, dan ada juga yang menyangkut wabah penyakit. Selain itu juga ada bencana non-alam akibat teknologi atau peperangan dan terorisme.

Tetapi dari semua kondisi bencana ini ada pola-pola yang serupa. Pada wabah penyakit ada istilah pre-disarter, misalnya ketika kita melihat ada ancaman. Untuk Covid-19 ketika Desember 2019 dan Januari  2020 China dan beberapa negara di Eropa mulai mengalami pandemi, kita masih berada di tahap pre-disaster.

Mulai merasa terancam dan waspada tetapi kita masih beraktivitas seperti biasa walaupun mulai ada kecemasan akan ketidakpastian.

Lalu ini berlanjut pada fase disaster dan fase pertamanya disebut fase heroik, ketika kita mulai mengalami ancaman yang nyata, mulai ada korban mulai ada yang positif mengidap virus Corona dan menyebar. Pada fase ini masyarakat mulai bersiap menghadapinya, setiap orang kemudian menyampaikan imbauan-imbauan, menggalang dana untuk membantu sesama.

Seperti yang kita lihat, ketika banyak tenaga medis belum mempersiapkan APD (Alat Pelindung Diri), masyarakat tanpa menyalahkan satu sama lain mengumpulkan dana dan memberikan APD kepada tenaga medis. Juga, membagikan sembako kepada warga yang membutuhkan. Itu fase heroik yang biasanya berlangsung selama beberapa minggu dan saya pikir kini kita sudah melewatinya.

Setelah fase heroik ada yang dinamakan dengan fase honeymoon atau bulan madu. Masyarakat mulai merasa cukup nyaman, anak-anak kita yang sebelumnya tidak terbiasa  online  kini mulai terbiasa. Orang yang bekerja di kantor mulai beralih dan terbiasa bekerja dari rumah dengan dibantu teknologi internet.

Bagi kalangan menengah ke atas mulai terbiasa menikmati suasana keluarga. Dan, kita akan melewati fase ini dengan berpikir positif bahwa kita akan bisa menghadapi pandemi ini, bahwa semua akan berlalu.

Namun, kita mesti berhati-hati sebab setelah fase honeymoon kita akan masuk pada fase disillussionment atau penurunan. Kita mulai berpikir sampai kapan keadaan seperti ini, apakah kita akan bisa bertahan atau tidak.

Ketika fase honeymoon menurun atau sudah terlewati, banyak orang berpikir tentang teori konspirasi; bahwa Covid-19 ini sebenarnya tidak nyata, bahkan ada yang mengaku siap disuntik virus untuk membuktikannya yang jelas tidak mungkin dilakukan.

Dan semua itu akan meningkatkan rasa ketidakpastian masyarakat. Orang yang tadinya sedikit cemas akan pandemi ini kemudian meningkat rasa cemas dan khawatirnya. Juga disertai dengan dengan rasa putus asa; jangan-jangan pandemi ini akan lama dan kita tak akan bisa bertahan.

Jadi, muncul semua rasa ketidakpastian. Pada keadaan seperti inilah menurut saya dukungan terhadap kesehatan jiwa sangat penting.

Selama ini orang hanya berpikir soal dukungan materi, memberikan sembako dan kebutuhan lain. Atau, membuat program Pra Kerja dan memberi pelatihan agar orang bisa yang terdampak pandemi bisa bekerja kembali. Betul, itu semua penting tetapi banyak orang lupa akan pentingnya dukungan kesehatan jiwa dan psikososial.

Terutama ketika fase honeymoon terlewati, dukungan terhadap kesehatan jiwa sangat dibutuhkan. Jadi perlu keseimbangan.

Saya termasuk orang yang tidak terlalu setuju dengan berpikir positif, bahwa kita harus senantiasa positif. Kadang-kadang kalau kita terlalu positif atau toxic positivity, kita justru akan jatuh pada kekecewaan. Misalnya saat kita merasa bahwa sebentar lagi keadaan akan baik-baik saja, bahwa kita harus percaya terhadap hal itu dan lain sebagainya.

Ketika kenyataan tidak sesuai dengan harapan, kita akan merasa kecewa dan putus asa. Di sini keseimbangan sangat diperlukan termasuk membatasi informasi tentang pandemi. Kita juga perlu membaca  berita yang positif. Tetapi kalau kita terlalu optimis dan menjadi abai terhadap ancaman, itu menjadi tidak bagus juga.

Kita perlu memberi perhatian terhadap berbagai ekspresi masyarakat tentang pandemi ini. Termasuk duka cita, itu perlu dihormati. Misalnya tentang tenaga medis yang mengirim kiriman di media sosial tentang sejawatnya yang meninggal, itu perlu dihormati.

Juga pada profesi lain, tentang orang tua dan para keluarga yang kehilangan anggota keluarganya. Duka cita adalah sesuatu yang perlu dihormati.

Di satu sisi, hal diatas kita lakukan untuk dukungan psikososial. Di sisi lain, perlu juga sesuatu yang membangkitkan harapan; bahwa pandemi ini akan lewat dan tidak ada sesuatu yang terjadi terus-menerus. Kemudian, sebagian besar akan baik-baik saja, meski banyak ada yang sakit dan meninggal tapi sebagian besar dari kita akan tetap survive.

Hal lain yang perlu dilakukan adalah mengenali dan menggemakan hal-hal baik yang terjadi di sekitar kita. Ada harapan, perbaikan, dan data-data yang mencerahkan diri kita, itu perlu digemakan. Dan yang penting adalah bagaimana kita menemukan peluang.

Saya percaya keadaan ini tidak membuat kita berhenti kembali pada masa lalu tetapi ini membuat kita menemukan peluang, sehingga kita menjadi leading, menjadi paling berkembang ketika kita menemukan the new normal, situasi normal yang baru dan tidak kembali seperti dahulu, serta mempertahankan harapan.

Itu yang kita semua perlu lakukan, sehingga fase disiluision ini akan berlalu dan kita bisa recover. Memang tidak semudah yang dikatakan, tetapi hal ini perlu bersama-sama kita jalankan. Bekerja sama, bukan saatnya saling menyalahkan, bukan saatnya bertengkar dan terpecah belah tetapi bersama-sama melewati pandemi ini. Seperti kata-kata dalam lagu kebangsaan kita Indonesia Raya; selain kita perlu membangun raga kita juga perlu membangun jiwa. Tetaplah sehat jiwa sampai pandemi Covid-19 ini berakhir. Salam Mantap Jiwa. [T]

Dimuat di tatkala.com

https://tatkala.co/2020/05/01/ketidakpastian-pandemi-dukungan-psikososial-vs-teori-konspirasi/

1 Mei 2020

Leave a Reply