Tanya: salam kenal www.gstrai.com, saya Ari 35 tahun dari Ubud, Bali mempunyai sedikit problem dengan dokter jiwa. Adik saya laki-laki 28 tahun sejak setahun terakhir dikatakan dokter positif mengidap AIDS dan sejak itu pula berobat rutin ke rumah sakit walaupun kondisinya tidak juga membaik tapi itu bukanlah masalahnya. Seminggu lalu adik saya disarankan dokter yang merawat untuk konsultasi ke dokter jiwa. Hal ini membuat saya dan keluarga marah karena menurut kami, dia tidak pernah berlaku aneh. Apakah dokter curiga adik saya sering melakukan hubungan seks dan itu tanda-tanda sakit jiwa? Karena menurut saya adik malah terkena AIDS karena memakai narkoba. Menurut dokter perlukah saya mengantar adik ke dokter jiwa sesuai saran dokter yang merawat? Terima kasih……
www.dokterai.com menjawab:
Salam kenal juga Pak Ari, terima kasih atas pertanyaannya. Nampaknya anda sekeluarga sedang mendapat cobaan berat dengan adik tercinta divonis terkena infeksi HIV/AIDS. Dan rasanya wajar apabila kini anda merasa kebingungan, sedih, ragu hingga akhirnya marah ketika mendengar akan dikonsulkan ke dokter jiwa. Dokter spesialis kedokteran jiwa atau psikiater merupakan profesi dokter yang juga memahami psikologi sehingga bisa dikatakan kombinasi antara dokter dan psikolog. Psikiater salah satunya mendalami pengaruh problematika kejiwaan atau distres dengan kondisi kesehatan fisik dan juga sebaliknya pengaruh gangguan fisik terhadap kejiwaan. Selain itu psikiater juga membantu pasien yang berhubungan dengan penyalahgunaan narkotika dan zat terlarang lainnya dan dari penjelasan bapak tadi sebenarnya inilah salah satu masalah yang dialami adik bapak. Kalau boleh jujur seharusnya pak Ari berterimakasih kepada dokter yang merawat selama ini karena selain merawat adik bapak secara fisik namun juga berkeinginan membantu secara mental pasien dan keluarga.
Saya yakin bapak sekeluarga sebelumnya telah mendapat penjelasan dari dokter tentang kondisi kesehatan yang terjadi pada adik. AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiecy Virus) yang akhirnya dapat berujung kematian. Pada umumnya masyarakat tidak mengetahui secara memadai tentang pengertian penyakit HIV/AIDS. Pengetahuan tentang berbagai faktor yang menyebabkan penyakit HIV/AIDS misalnya, masyarakat umumnya juga kurang mengetahui secara rinci. Masyarakat hanya mengetahui penyebab penyakit HIV/AIDS, yang berasal dari perilaku seksual yang menyimpang. Kosa kata atau istilah yang dipakai masyarakat untuk menyebut perilaku seksual yang menyimpang adalah “suka jajan”, “punya simpanan”, dan hubungan sesama jenis. Sementara itu juga ada yang menyebut berasal dari alat suntik (yang tercemar virus HIV), dan yang lainnya menyebut tertular dari ibu yang sedang mengandung. Sebagai dokter saya berpikir bahwa bagaimana pasien bisa tertular tidaklah penting karena lebih banyak justru membuat stigma (prasangka) dan itu justru sangat tidak membantu pasien.
Sekitar 75-90 % pasien AIDS mengalami patologi otak dengan berbagai sindrom neuropsikiatri, pada 10 % pasien dengan infeksi HIV, komplikasi neuropsikiatri merupakan gejala utama. Pada pasien dengan infeksi HIV dan AIDS dapat ditemukan kelainan-kelainan psikiatri klasik seperti depresi, ansietas, psikosis dan lain-lain. Selain itu juga terdapat dampak psikososial yang dapat ditemukan pada pasien HIV/AIDS. Ketika seseorang diberitahukan bahwa hasil tes HIV-nya positif, mereka dikonfrontasikan pada kenyataan bahwa mereka berhadapan dengan suatu keadaan terminal. Kenyataan ini akan memunculkan perasaan shock, penyangkalan, tidak percaya, depresi, kesepian, rasa tak berpengharapan, duka, marah, dan takut. Hal ini dapat menimbulkan kecemasan dan depresi.
Selama tahun-tahun awal di mana belum muncul gejala, stres akan berkurang. Tetapi, dengan berjalannya waktu di mana fungsi imun semakin menurun dan mulai ada tanda-tanda berhubungan dengan HIV seperti ruam-ruam kulit, penurunan berat badan, sesak napas, dan sebagainya, kecemasan serta depresi dapat timbul lagi. Mungkin disertai pula gagasan bunuh diri, gangguan tidur, dan sebagainya. Hal ini dapat dicegah dan diobati agar dapat pulih kembali serta nantinya dapat tetap menikmati hidup bahagia walaupun bersama sakitnya. Saat ini penyakit HIV/ AIDS memang tidak bisa diobati hingga sembuh sempurna namun dengan pengobatan yang diberikan sekarang ini dapat memperpanjang usia. Perasaan optimis dan positif berpengaruh sangat besar pada penderita HIV/ AIDS, dimana menurut penelitian pasien yang tidak depresi memiliki kadar daya tahan yang jauh lebih baik. Untuk itu alangkah bagusnya bila sebelum muncul depresi dicegah dengan konsultasi psikiater. Apabila membutuhkan pengobatan antidepresi maka juga akan diberikan namun juga mempertimbangkan hubungannya dengan penyalahgunaan obat narkotika yang pernah dan sedang dilakukan. Pada korban narkoba seperti adik bapak, juga perlu diterapi tentang kecanduan yang dialami. Kini ada berbagai cara yang diterapkan psikiater di seluruh indonesia menangani kecanduan narkoba dari rehabilitasi hingga substitusi.
Intinya perawatan pada pasien HIV/AIDS dilakukan secara holistik tidak saja keluhan fisiknya namun juga memperhatikan perasaan dan pemikiran pasien serta terapi akan kecanduan narkotikanya. Perawatan juga tidak hanya pada pasien namun juga keluarga pasien karena saya yakin bapak sekeluarga pasti mengalami tekanan bathin yang tidak sedikit. Sehingga nantinya diharapkan keluarga siap dan justru dapat membantu pasien untuk dapat hidup bahagia walaupun dengan sakit yang dialaminya
Sebagai Keluarganya, alangkah baiknya bila bapak mengetahui kebutuhan khusus kejiwaannya dan nantinya membantu psikiater melatih atau memenuhinya di rumah.
Pasien HIV/AIDS memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang perlu dipertimbangkan dengan menetapkan tujuan psikoterapi sebagai berikut:
- Membantu pasien mempertahankan kontrol akan hidupnya dan membantu mereka menemukan mekanisme pertahanan yang sehat, termasuk sikap yang selalu positif dalam menghadapi begitu banyak tantangan dan stres dalam perjalanan penyakitnya.
- Membantu pasien menghadapi perasaan bersalah, penyangkalan, panik, dan putus asa.
- Bekerja bersama pasien menciptakan perasaan self-respect (menghormati diri sendiri) dan menyelesaikan konflik mereka jika ada (misalnya homoseksualitas, penggunaan obat-obat terlarang, dan sebagainya).
- Membantu mereka berkomunikasi dengan keluarga, pasangan hidup dan teman-teman mengenai penyakit mereka dan rasa takut akan penolakan serta ditinggalkan. Juga membantu mereka membina hubungan interpersonal yang memuaskan.
- Membantu mereka membangun strategi untuk berhadapan dengan krisis nyata yang mungkin terjadi, baik dalam kesehatan maupun sosioekonomi, dan hal-hal dalam kehidupan lainnya.